JAM-Pidum : Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif Sebagai Perwujudan Kepastian Hukum

JAM-Pidum : Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif Sebagai Perwujudan Kepastian Hukum

Smallest Font
Largest Font

Kabarindoraya.com | Jakarta - Jaksa Agung RI melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Prof. Dr. Asep Nana Mulyana memimpin ekspose virtual dalam rangka menyetujui 6 (enam) permohonan penyelesaian perkara berdasarkan mekanisme Restorative Justice (keadilan restoratif) pada Senin 21 Oktober 2024.


Adapun salah satu perkara yang diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif yaitu terhadap Tersangka Fahrid Ramadhan alias Fahrid bin Niko dari Kejaksaan Negeri Konawe, yang disangka melanggar Pasal 480 ke-1 KUHP tentang Penadahan.


Kejadian perkara bermula pada hari Minggu tanggal 12 Mei 2024, Tersangka Fahrid Ramadhan alias Fahrid bin Niko dengan sengaja dan melawan hukum membeli, menukar untuk mendapatkan keuntungan, menjual, menyimpan sesuatu barang yang diperoleh karena kejahatan dari Korban Tarsan alias Mono yang telah kehilangan 1 (satu) unit sepeda motor merk Yamaha Vega RR warna hitam miliknya.


Setelah kejadian tersebut tepatnya pada kamis tanggal 25 Juli 2024 anak korban Atas Nama WAHYU melihat postingan grup whatsapp tempat kerjanya, dimana pada postingan tersebut ipar dari tersangka Atas Nama Alpandi menawarkan/menjual motor yang mirip milik korban dengan harga Rp. 3.000.000 (tiga juta rupiah).


Kemudian melihat postingan tersebut Anak Korban Atas Nama Wahyu menghubungi saudara Alpandi untuk memastikan motor milik korban tersebut dan bertemu Tersangka Fahrid Ramadhan alias Fahrid bin Niko yang mengaku mendapatkan motor tersebut dengan tukar tambah dengan orang lain.
Mengetahui kasus posisi tersebut, Kepala Kejaksaan Negeri Konawe Dr. Musafir, S.H., S.P.d., M.H. dan Kasi Pidum Tubagus Ankie, S.H., M.H.menginisiasikan penyelesaian perkara ini dengan mekanisme restorative justice.


Dalam proses perdamaian, Tersangka mengakui dan menyesali perbuatannya serta meminta maaf kepada korban. Setelah itu, korban menerima permintaan maaf dari Tersangka dan juga meminta agar proses hukum yang sedang dijalani oleh Tersangka dihentikan.


Usai tercapainya kesepakatan perdamaian, Kepala Kejaksaan Negeri Konawe mengajukan permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara Dr. Hendro Dewanto, S.H., M.Hum..

Setelah mempelajari berkas perkara tersebut, Kepala Kejaksaan Tinggi Suloawesi Tenggara sependapat untuk dilakukan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dan mengajukan permohonan kepada JAM-Pidum dan permohonan tersebut disetujui dalam ekspose Restorative Justice yang digelar pada Senin, 21 Oktober 2024.


Selain itu, JAM-Pidum juga menyetujui 5 perkara lain melalui mekanisme keadilan restoratif, terhadap tersangka:


1. Tersangka Nursidin alias La Sidi bin La Hodo dari Kejaksaan Negeri Muna, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.


2. Tersangka Muflihun alias La Mopu bin Balidin dari Kejaksaan Negeri Muna, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.


3. Tersangka Rifan alias La Rifan bin La Halia dari Kejaksaan Negeri Muna, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.


4. Tersangka Fried Paulus Pesingkai, S.Kep dari Kejaksaan Negeri Alor, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.


5. Tersangka M. Daffa Al Aziz Hutagalung bin Okto A. Hutagalung dari Kejaksaan Negeri Muaro Jambi, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
 
Alasan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini diberikan antara lain:


• Telah dilaksanakan proses perdamaian dimana Tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf;


• Tersangka belum pernah dihukum;


• Tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana;


• Ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun;


• Tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya;


• Proses perdamaian dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi;


• Tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar;


• Pertimbangan sosiologis;


• Masyarakat merespon positif.


“Para Kepala Kejaksaan Negeri dan Kepala Cabang Kejaksaan Negeri dimohon untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2)

Berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum,” pungkas JAM-Pidum.  (Redaksi 01)

Editors Team
Daisy Floren

What's Your Reaction?

  • Like
    0
    Like
  • Dislike
    0
    Dislike
  • Funny
    0
    Funny
  • Angry
    0
    Angry
  • Sad
    0
    Sad
  • Wow
    0
    Wow