MEMBERONTAK ITU MANUSIAWI”

MEMBERONTAK ITU MANUSIAWI”

Smallest Font
Largest Font

Oleh: Raju Zalikal

Bogor | Kabarindoraya.com

Saya mendapat dua pertanyaan melalui pesan singkat dari salah seorang mahasiswa yang baru saja memasuki dunia perkuliahan, isi pesannya kira-kira begini: “Bang, kenapa tagline yang abang pakai adalah memberontak itu manusiawi?” Dan yang satu lagi “Kenapa bisa memberontak itu manusiawi?”.

Dua pertanyaan itu membuat saya tersenyum, dan sekaligus membawa saya pada satu ingatan ketika saya masih sering dipanggil ke ruangan dosen untuk berdiskusi, yang jelas karena ada masalah tentunya.

Sebentar, sebelum pembahasan lebih jauh mengenai “pemberontakan” dan “kemanusiaan” saya akan jelaskan dulu sedikit tentang alasan kenapa saya tersenyum setelah mendapat dua pertanyaan melalui pesan singkat tersebut.

Pertama, saya beranggapan bahwa kegiatan bertanya adalah respon diri atas adanya keraguraguan (skeptis), yang kemudian akan mengantarkan seseorang pada kebenaran. Sebagaimana yang disampaikan oleh Jujun Suria Sumantri dalam bukunya yang berjudul Filsafat Ilmu, bahwa pengetahuan bermula dari rasa ingin tahu dan kebenaran bermula dari keraguraguan.

Inilah alasan kenapa saya tersenyum saat mendapat pesan yang berisi keraguraguan, semakin ragu seseorang, maka semakin besar peluang ia dekat dengan kebenaran.

Kedua, datangnya seseorang secara suka rela untuk mempertanyakan hal apapun pada saya, secara tidak langsung telah membuka peluang besar bagi saya untuk dapat berjualan ide dan doktrin perjuangan.

Bagi orang-orang yang aktif di organisasi nonprofit seperti organisasi kemahasiswaan, tidak ada hal yang lebih penting selain regenerasi. Sebab misi perjuangan untuk mewujudkan masyarakat yang diridhoi oleh Allah SWT.  tidak mungkin dapat dituntaskan oleh hanya satu atau dua generasi, maka dari itu perjuangan harus panjang umurnya, dan regenerasi adalah jalannya.

Saat itu, saya dipanggil oleh salah seorang dosen ke ruangannya setelah saya mengumpulkan beberapa mahasiswa untuk menolak arahan keluar dari kelasnya lebih cepat dari waktu yang telah ditetapkan untuk kegiatan satu mata kuliah.

Saya dan beberapa mahasiswa menentang ide keluar kelas lebih cepat karena ia memiliki agenda lain, kami menilai alasan yang disuguhkannya itu cacat dan sulit untuk diterima akal pikiran. Bagaimana bisa ia memiliki agenda lain, sementara agenda mengampu mata kuliah itu sudah disepakati waktu dan tempatnya dalam jangka satu semester. Maka terjadilah perdebatan.

Awal mula konflik antara saya dan dosen tersebut muncul karena tulisan-tulisan saya yang mengarah pada dosen-dosen yang jarang masuk, dan ia adalah salah satunya.

Kemudian, pernah juga kejadian di mana saya dan beberapa mahasiswa terlambat pada jam kuliahnya, namun uniknya hanya saya yang tidak boleh mengisi daftar hadir. Maka ketika ada kesempatan untuk menghajar dosen dengan argumentasi, tidak akan saya sia-siakan barang semenit.

Singkat cerita, di ruangannya saya diberedel pertanyaan yang menurut saya tidak perlu-perlu amat untuk dijawab, apa lagi jika mengingat klaimnya bahwa ia adalah sosok aktivis mahasiswa pada masanya.

Hingga pada akhirnya ia sampai pada kalimat “kamu masih semester bawah, gak usah sok kritis dan jangan banyak memberontak!”, asli darah saya berlarian menuju kepala setelah mendengarkan kalimatnya, siap untuk dimuntahkan ke hadapannya.

Meski ada keinginan untuk melumat argumentasinya, tapi saya memilih untuk mengatur ritme pembicaraan. Saya memilih untuk melanjutkan diskusi dengan santai sambil melemparkan kalimat yang menggantung, yang bertujuan agar ia masuk dalam ritme diskusi dan konstruksi berpikir yang saya bangun.

“Tenang, pak. Memberontak itu manusiawi” kata saya.

Terlihat keningnya berkerut, matanya agak menyipit seakan-akan meminta penjelasan lebih lanjut mengenai kalimat yang saya ucapkan.

“Bagaimana bisa memberontak itu manusiawi?” Tanyanya sambil mencondongkan badannya ke depan.

Dalam hati saya tertawa, jika benar apa yang dikatakan buku-buku psikologi yang pernah saya baca, maka itu adalah tanda-tanda ia sudah masuk dalam sarang konstruksi berpikir yang kita akan bangun.

“Keberadaan bapak saat ini juga adalah hasil pemberontakan” saya melanjutkan tanpa menghiraukan pertanyaannya.

Asli makin mengkerut keningnya, yang bisa keluar dari mulutnya cuma sepatah kalimat tanya “maksud kamu?”

Saya menyadari bahwa literasi dosen ini tidak merambah jauh ke dunia Islam-Iran pasca revolusi, sebab kalimat yang saya sampaikan tadi bukanlah hasil pikir saya. Melainkan kalimat-kalimat tokoh intelektual muslim di Iran yang bernama Ali Syari’ati yang saya adopsi untuk kemudian saya suguhkan pada dosen tersebut.

Teman-teman sekalian, sebelum saya menjabarkan tentang “Pemberontakan” dan “Kemanusiaan” serta korelasi historis antara keduanya, saya akan menjelaskan dulu siapa itu Ali Syari’ati.

Beliau merupakan sosok yang bertolak dari lingkungan akademisi, yang sangat kencang mengumandangkan revolusi di Iran melalui ceramah-ceramahnya.

Sasaran ceramahnya ialah kaum intelektual muda, pindah dari satu tempat ke tempat lain untuk menyampaikan ceramahnya. Beberapa kali ia keluar masuk penjara karena dicap sebagai ancaman oleh rezim, tapi tidak sedikit pun mengurangi semangat juangnya untuk mengugah para intelektual muda agar bangkit merubah status quo yang tidak menguntungkan masyarakat.

Beliau tidak melahirkan buku secara langsung, namun dokumentasi dari ceramah-ceramahnya dirapikan dan diterbitkan menjadi sebuah buku oleh para pengikutnya. Kemudian banyak diterjemahkan oleh para intelektual dari berbagai negara, salah satunya adalah indonesia.

Beberapa buku bermuatan ceramah-ceramah Ali Syari’ati yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa indonesia telah saya baca dan miliki. Bagi saya pribadi, pola pikir Ali Syari’ati sangat menarik, bagaimana cara ia memandang sesuatu sangat berbeda dan khas, ia seperti menunjukan kembali kualitas berpikir intelektual muslim pada zaman kejayaan Islam.

Yang paling membekas pada ingatan saya adalah ketika saya membaca buku terjemahan dari hasil dokumentasi ceramah Ali Syari’ati yang berjudul Cendikiawan Muslim, tempat di mana saya menemukan kalimat dan pembahasan tentang memberontak itu manusiawi, yang sampai saat ini saya jadikan tagline dalam setiap pergerakan dan perjuangan.

Bayangkan jika saat itu, Nabi Adam menuruti perintah untuk tidak memakan buah Khuldi. Mungkin saat ini, tidak akan ada kehidupan manusia di bumi. Bahkan bisa jadi, manusia hidup di alam surgawi yang penuh kenikmatan.

Tapi, Adam dengan segala kuasanya menyadari, bahwa jika manusia hidup di alam surgawi justru itu tidaklah manusiawi. Tempat manusia bukanlah di alam surga, melainkan di bumi.

Saat perintah untuk tidak memakan buah Khuldi berhadapan dengan keinginan Siti Hawa, Adam lebih memilih untuk memberontak perintah Tuhan dan mengamini keinginan Siti Hawa yang juga manusia sepertinya.

Di luar skenario penciptaannya, Adam AS dengan penuh kesadaran memilih untuk tidak patuh. Ia telah menghitung segala konsekuensi dari pemberontakannya yakni terusir dari surga dan di buang ke bumi.

Adam AS menyadari bahwa jika ia terus-terusan hidup di surga, maka itu sangatlah tidak manusiawi. Kesadarannya (akal) merupakan keistimewaannya, karena itulah yang membuat seluruh makhluk bersujud di hadapannya saat setelah ia diciptakan.

Kurang lebih begitulah pemberontakan manusia yang pertama kali dilakukan, dan itu menurut Ali Syari’ati sangatlah manusiawi. Manusia yang memiliki kemanusiaan di dalam dirinya, akan memberontak pada apa yang tidak sesuai dengan nuraninya.

Manusia harus memberontak ketika mendapati hal-hal yang berseberangan dengan nilai kemanusiaan, sebab jika tidak, maka yang mati saat itu juga adalah kemanusiaannya.

Lalu, yang sangat disayangkan adalah saat ini, kata “berontak” dilabeli stigma negatif. Sehingga hal-hal yang berkaitan dengan “berontak” dianggap buruk prakteknya. Padahal jika kita berkaca pada sejarah awal manusia dalam perspektif Ali Syari’ati, pemberontakan adalah upaya Adam AS agar kehidupan manusia menjadi manusiawi.

Bahkan, di ruang akademis sekalipun seperti kampus, jangankan sebuah pemberontakan secara fisik, perbedaan narasi yang lebih halus modelnya pun menjadi hal yang sulit untuk diterima. Padahal, tempat akademis semacam kampus mesti menjadi ruang bagi studi komparasi pemikiran dan narasi.

Melalui tulisan ini saya ingin kembali mensucikan kata “berontak” yang selama ini disandingkan dengan stigma negatif. Juga mengingatkan bahwa memberontak itu adalah hal yang manusiawi untuk dilakukan oleh manusia.

Di zaman yang penuh ketidakadilan dan penindasan, maka pemberontakan mesti dilakukan agar setiap manusia terbebas dari kezaliman dan kelaliman.

Pemberontakan terhadap penindasan itu bersifat wajib, pemberontakan terhadap ketidakadilan itu bersifat wajib, pemberontakan terhadap kezaliman pemerintah itu bersifat wajib, karena pada dasarnya memberontak itu manusiawi dan memberontak adalah sebuah keharusan.

Teman, selamat memberontak!

Editors Team
Daisy Floren

What's Your Reaction?

  • Like
    0
    Like
  • Dislike
    0
    Dislike
  • Funny
    0
    Funny
  • Angry
    0
    Angry
  • Sad
    0
    Sad
  • Wow
    0
    Wow