Menanti Sekolah Tatap Muka Tanpa Resiko Oleh Siti Susanti, S.Pd
Staf Pengajar Lembaga Asysyifa Bandung
Setelah setahun berlalu, pandemi belum juga usai. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim akhirnya mengambil kebijakan sekolah tatap muka pada ajaran baru tahun 2021-2022 mendatang. Dinas Pendidikan Jawa Barat-pun menyambut kebijakan itu, dan bersiap melaksanakan sekolah maupun kuliah secara tatap muka Juli nanti. Persiapan yang dilakukan adalah dengan vaksinasi guru.
Kebijakan tatap muka ini menuai pro kontra dari berbagai kalangan. Sebagian orang tua menyambut positif, setelah selama ini merasakan beban yang bertambah dengan aktifitas mengajar anak di rumah. Begitupun sebagian siswa yang sudah merasakan rindu dengan suasana tatap muka di sekolah.
Namun, kebijakan ini dinilai para ahli terlalu tergesa-gesa dan beresiko. Dilansir detik.com, ahli Epidemiologi Universitas Padjadjaran (Unpad) Panji Fortuna Hadisoemarto menilai kebijakan tersebut terlalu berisiko. Dia juga mengatakan, keputusan sekolah tatap muka seharusnya mempertimbangkan sisi epidemiologi secara utuh. “Bukan hanya atas dasar sudah dilakukannya vaksinasi guru,” tuturnya (11/3/2021)
Berlarutnya pandemi, membuktikan bahwa berbagai solusi yang diambil tidak efektif dalam mengatasi pandemi. Hal ini tidak lain efek penerapan kapitalisme di negeri ini, yang seringkali mengedepankan untung rugi dalam mengambil kebijakan. Adapun terkait kesehatan masyarakat diabaikan.
Memulai sekolah tatap muka di tahun ini adalah salah satu bukti, bahwa kapitalisme abai terhadap penjagaan kesehatan masyarakat. Jika kesehatan terganggu bahkan mengancam jiwa, maka proses belajar pun akan terganggu, sehingga menyebabkan akibat buruk terhadap masa depan generasi.
Di sisi lain, ketidakberhasilan proses pendidikan daring meski sudah diambil kebijakan kurikulum darurat, menjadikan semakin terang bahwa kapitalisme gagal dalam mengelola pendidikan masyarakat secara optimal. Padahal, pendidikan adalah hak masyarakat yang harus dipenuhi secara layak.
Kegagalan kapitalisme disebabkan ide ini berasaskan sekulerisme, yakni pemisahan agama dengan urusan kehidupan (termasuk pendidikan). Agama diberi ruang sempit hanya di tempat-tempat ibadah. Konsekuensinya, pengaturan kehidupan diserahkan kepada akal manusia yang lemah dan terbatas. Maka wajar jika kebijakan yang diambil, alih-alih dilaksanakan secara ideal, malah menimbulkan carut marut dan tambal sulam.
Berganti-gantinya kurikulum yang dibuat, menguatkan indikasi bahwa sistem pendidikan kapitalisme bersifat tambal sulam sehingga tidak dapat menjadi solusi dalam masa pandemi, begitupun di masa nonpandemi.
Di masa pandemi, kurikulum kapitalistik telah menimbulkan stres pada banyak kalangan. Hal ini karena pelaksanaan dan target pendidikan diarahkan kepada capaian-capaian yang bersifat materialistik. Sementara di sisi lain, kosong dari nilai-nilai spiritual.
Pembentukan karakter yang sejatinya harus dicapai, akhirnya hanya berupa angan-angan karena proses pembelajaran hanya berupa pengumpulan tugas-tugas yang banyak yang akhirnya menimbulkan tekanan beban baik bagi siswa maupun guru.
Di sisi lain, keterbatasan infrastruktur masih dirasa sebagai kendala. Ketika daring, masalah-masalah seperti tidak ada kuota, belum terdapat jaringan internet hingga tidak memiliki gawai, tentu menambah carut marut pelaksanaan pendidikan saat ini. Dan jika tatap muka berlangsung, keterbatasan infrastruktur sekolah untuk menyelenggarakan ‘sekolah aman’ akan menambah PR tersendiri.
Berbeda dengan Islam, yang merupakan sistem hidup yang berasal dari Pencipta Manusia Yang Maha Tahu seluk beluk manusia. Peraturan-peraturan dalam Islam, akan mampu menjadi solusi terbaik bagi kehidupan, termasuk dalam pendidikan. Tuntutan syariah Islam secara kafah (menyeluruh) akan mampu memberikan solusi terbaik
Pertama, secara filosofis. Islam datang memiliki maksud syariah, yaitu menjaga jiwa, akal, harta,keturunan, dan agama. Terkait pandemi, penjagaan jiwa merupakan amanah syariah yang tidak boleh diabaikan. Syariah Islam mengatur penanganan wabah adalah dengan karantina wilayah, sebagaimana hadits Nabi:
“Jika kalian mendengar tentang wabah di suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya. Tetapi jika terjadi wabah di suatu tempat kalian berada, maka janganlah kelian meninggalkan tempat itu,” (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim)
Adapun wilayah yang tidak terdampak wabah, bisa melaksanakan aktifitas termasuk sekolah secara normal (tatap muka) .
Kedua, aqidah Islam sebagai asas pendidikan. Artinya, pelaksanaan pendidikan tidak lain karena dorongan iman. Belajar mengajar adalah amanah syariah yang tidak boleh ditinggalkan, dalam kondisi apapun. Banyak dalil yang mendorong kaum muslim untuk menuntut ilmu.
Sehingga, seorang muslim akan bersemangat dalam menuntut ilmu, karena baginya ini adalah jalan menuju kemuliaan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
“Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan.” (Almujadalah ayat 11)
Ketiga, tujuan pendidikan adalah membentuk kepribadian Islam.
Seluruh kurikulum akan diarahkan menuju tujuan ini, yaitu memiliki aqliyah(pola pikir) dan nafsiyah (pola sikap) Islam. Kepribadian Islam akan menjadikan seorang muslim menjalani kehidupan sesuai dengan tuntunan syariah Islam. Maka, akan sejalan dengan dorongan menguasai sains teknologi yang diperlukan dalam kehidupannya.
Keempat, metode pengajaran adalah talqiyyan fikriyyan. Ini adalah metode yang diajarkan Al-qur’an. Yaitu metode pembelajaran yang berbekas dan berpengaruh, dengan mengaitkan ilmu yang disampaikan dengan realitas kehidupan.
Melalui metode ini, tujuan pendidikan akan tercapai, dan dijauhkan dari proses belajar yang membosankan.
Kelima, negara sebagai penanggung jawab urusan masyarakat. Islam memberikan wewenang ini di pundak kepala negara (khalifah), sebagaimana hadits Nabi SAW:
” Imam (kepala negara) adalah pengurus urusan rakyat. Dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas pengurusannya.”
Pendidikan adalah hak rakyat yang harus dipenuhi oleh negara. Hal ini dicontohkan langsung melalui af’al (perbuatan) Rasulullah SAW. Beliau memberikan ketentuan kepada tawanan perang Badar untuk mengajarkan kepada sepuluh orang Madinah, sebagai tebusan tawanan perang. Dalam Islam, tawanan perang adalah milik negara (khilafah).
Dengan demikian, imam/khalifah akan menjalankan sistem pendidikan dengan penuh amanah, mulai dari menyediakan guru, infrastruktur, hingga penyiapan kurikulum.
Negara juga tidak akan menjadikan aspek pendidikan sebagai ladang bisnis, namun semua murni sebagai pelayanan negara bagi rakyatnya.
Keenam, mekanisme pembelajaran dapat digunakan sesuai perkembangan zaman. Hal ini karena mekanisme (alat/cara) termasuk bagian dari madaniah, yang dibolehkan penggunaannya oleh Islam. Dengan demikian, pembelajaran bersifat daring maupun luring, tidak akan menjadi kendala dalam mencapai tujuan pendidikan.
Di sisi lain, penguasaan sains dan teknologi akan digalakkan, menuju pencapaian tujuan pendidikan.
Ketujuh, pembiayaan berasal dari baitul mal. Ini adalah bagian dari struktur kekhilafahan. Pos pembiayaan pendidikan berasal dari pendapatan negara berupa fai, kharaj dan jizyah. Serta dari pengelolaan sumber daya alam (baik darat maupun laut). Melalui ini, hak-hak masyarakat dapat terpenuhi secara optimal oleh negara, tanpa perlu menjualnya kepada rakyat atau tergantung kepada swasta.
Demikianlah, Islam telah memberikan aturan secara komprehensif terkait sistem pendidikan. Sistem ini akan menjadi solusi alternatif, di tengah kegagalan sistem kapitalisme saat ini.
” Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (TQS Al-Ma’idah 50)
Dikirim Ke Redaksi : Oleh Siti Susanti, S.Pd
Staf Pengajar Lembaga Asysyifa Bandung
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow