Menghadang Krisis Literasi : JAKER dan IAIB Menjadi Cahaya di Tengah Kegelapan

Menghadang Krisis Literasi : JAKER dan IAIB Menjadi Cahaya di Tengah Kegelapan

Smallest Font
Largest Font

Kanarindoraya.com | Bogor – Prihatin dengan rendahnya tingkat literasi di masyarakat, Jaringan Kebudayaan Rakyat (JAKER) Kabupaten Bogor bekerja sama dengan Institut Agama Islam Bogor (IAIB) menggelar Saresehan Literasi: Diskusi Publik dan Bedah Buku "Menghadang Kubilai Khan". Acara ini menjadi ruang dialektika untuk mendorong semangat literasi di kalangan generasi muda.

Diskusi yang berlangsung di Aula Auditorium IAIB, Desa Parakanmuncang, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, mengangkat tema "Persatuan Nasional, Keadilan dan Kemakmuran Bangsa serta Koherensi Sosial." Sejumlah organisasi lokal, seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) IAIB, Karang Taruna, serta komunitas literasi lainnya, turut hadir untuk menyuarakan pentingnya literasi dalam membangun bangsa.

Minimnya Minat Baca, Ancaman bagi Masa Depan Bangsa

Ketua Umum JAKER, Anisa, menyoroti rendahnya minat baca di Indonesia, yang dinilai sebagai salah satu yang terendah di dunia.

"Padahal, kemajuan sebuah bangsa dapat diukur dari indeks literasi dan minat baca masyarakatnya. Jika literasi lemah, maka pemahaman terhadap kebudayaan dan ilmu pengetahuan pun akan tergerus," ujarnya.

Pernyataan ini diamini oleh Anggota DPRD Komisi IV Kabupaten Bogor, Usep Nukliri, yang juga menjabat sebagai Rektor IAIB. Ia menegaskan bahwa literasi bukan hanya soal membaca, tetapi juga membangun kesadaran sosial dan kebangsaan.

"Kami sangat mendukung kegiatan seperti ini, karena literasi adalah fondasi bagi koherensi sosial dan pembangunan karakter bangsa," kata Usep.

Dominasi Digital, Buku Cetak Terpinggirkan?

Sementara itu, Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat, Syamsul Hidayat, menyoroti bagaimana era digital mengubah pola konsumsi informasi, yang berimbas pada menurunnya ketertarikan terhadap buku cetak.

"Hari ini kita dihadapkan pada persaingan antara buku cetak dan digital. Sayangnya, banyak anak muda yang lebih terpaku pada gawai dibandingkan membaca buku," ungkapnya.

Syamsul menekankan pentingnya menanamkan kecintaan terhadap literasi sejak dini, bahkan dari jenjang pendidikan anak usia dini.

"Mulai dari TK dan SD, anak-anak harus diarahkan untuk mencintai tulisan, sekecil apa pun itu. Jika dibiarkan, era digitalisasi ini akan semakin menjauhkan mereka dari budaya membaca," lanjutnya.

Apresiasi dan Kekecewaan

Dewan Kesenian Kabupaten Bogor, Putra Gara, memberikan apresiasi terhadap acara ini. Menurutnya, diskusi literasi seperti ini bukan hanya positif, tetapi juga produktif dalam mengasah pemikiran kritis mahasiswa.

"IAIB harus menjadi kawah candradimuka bagi mahasiswa untuk berpikir kritis. Diskusi dan bedah buku ini menjadi pemantik agar mereka mampu memahami sejarah dan budaya secara lebih mendalam," katanya.

Namun, di balik antusiasme acara ini, ada satu catatan kritis: absennya perwakilan dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Bogor. Kepala Dinas, Yudi Santosa, yang dijadwalkan hadir, justru tak menunjukkan batang hidungnya.

Ketidakhadiran perwakilan pemerintah ini memunculkan pertanyaan besar: sejauh mana komitmen pemerintah daerah dalam mendukung gerakan literasi? Jika literasi memang menjadi perhatian serius, mengapa justru para pemangku kebijakan tidak hadir dalam forum penting seperti ini?

Dengan masih banyaknya tantangan dalam membangun budaya literasi, harapannya acara semacam ini bisa menjadi langkah awal dalam membangkitkan semangat membaca dan berpikir kritis, terutama di kalangan generasi muda.(Ilyas Sunarya)

Editors Team
Daisy Floren

What's Your Reaction?

  • Like
    1
    Like
  • Dislike
    0
    Dislike
  • Funny
    0
    Funny
  • Angry
    0
    Angry
  • Sad
    0
    Sad
  • Wow
    0
    Wow

Populer Lainnya