OPINI Oleh :Yogi Prasetio (Sekretaris Umum HMI-MPO Cabang Bogor)

OPINI Oleh :Yogi Prasetio (Sekretaris Umum HMI-MPO Cabang Bogor)

Smallest Font
Largest Font

Forum Intelektual Sebagai Penerjemah Realitas Politik Kebangsaan

Gegap gempita kehidupan politik bangsa Indonesia selalu memunculkan cara pandang baru bagi setiap warga dan masyarakatnya, baik pada level pengamat, penikmat, bahkan sampai kepada mereka yang buta terhadap politik. Pada mereka yang buta terhadap politik mungkin memaknai politik adalah salah satu pagelaran yang dipertontonkan melalui perebutan kursi kekuasaan yang diselenggarakan oleh berbagai macam Partai Politik (PARPOL) yang hanya diselenggarakan beberapa tahun sekali. Pada level penikmat bahkan sampai pengamat tentunya ada perbedaan tersendiri dalam memaknai terminologi perihal politik, ada semacam perbedaan pemahaman tentang konteks politik yang kemudian diberlakukan oleh sample kelas tadi, pada tingkatan pengamat bahwa keadaan politik yang sedang berkembang tentu menjadi agenda rutin dalam mengisi kegiatan dikesehariannya, karena bagaimanapun pengamat dipaksa untuk bisa menerjemahkan baik realitas politik yang terjadi maupun bentukan yang terjadi di dalam konfigurasi politik itu sendiri, terlepas dari diterima atau tidak hasil dari pengamatannya tersebut.

Kita ketahui bahwa beberapa bulan kedepan Indonesia akan menghadapi pesta demokrasi yang secara langsung melibatkan berbagai pihak. Pesta demokrasi yang diselenggarakan setiap lima tahunan itu menjadi satu agenda sakral yang kemudian kita berharap buah dari demokrasi tersebut bisa dipetik oleh semua pihak tanpa terkecuali. Dalam rangka menyelenggarakan demokratisasi tentunya bangsa ini harus selalu siap menerima segala bentuk resiko dan konsekuensi dari proses menyelenggarakan negara yang demokratis, dan demi meminimalisir gesekan-gesekan yang terjadi ditingkatan masyarakat atau pada level-level tertentu harus adanya upaya menyamakan pemahaman tentang bagaimana demokratisasi dapat berjalan lancar di Indonesia dengan baik dan benar.

Tidak bisa dipungkiri, dalam rangka menyelenggarakan negara yang demokratis selalu berjalan dengan mulus. Gejala tidak adanya upaya untuk menyamakan persepsi tentang bagaimana menyelenggarakan negara demokratis ditandai dengan adanya berbagai macam gesekan-gesekan yang terjadi ditingkatan masyarakat, mungkin ingatan kita akan bermuara pada kasus penistaan Agama yang dilakukan oleh pejabat pemerintah di ibu kota beberapa waktu lalu yang kemudian menciptakan gelombang masa yang cukup besar, dengan dalih menuntut keadilan dan demi itu mereka beramai-ramai dan berangsur berkumpul menjadi gelombang politik baru di dalam percaturan politik bangsa ini. Bukan hanya arus politik baru yang dapat muncul kepermukaan di dalam suasana menyelenggarakan demokratisasi benegara, namun akan selalu muncul gesekan-gesakan baru selama pemahaman terhadap demokratisasi bernegara tidak berada pada prekuensi yang sama. Mungkin itu hanya contoh dan sebahagian kecil dampak dari tidak samanya prekuensi terhadap memahami bagaimana mengatur dan mengisi negara yang demokratis.

Jika kita mendefinisikan bahwa demokrasi adalah bagian dari kebebasan, maka sangat wajar bangsa ini begitu kebablasan menyelenggarakan demokratisasi dalam kehidupan bernegara. bagaiman tidak, negara ini begitu kebablasan dalam mengatur segala bentuk aturan dalam konsep bernegara dan itu berdampak vital terhadap pemahaman masyarakatnya, sehingga sangat wajar bila kehidupan masyarakat dewasa ini dipenuhi dengan ketegangan dan kekerasan, bahkan saling berkampanye tentang ujaran kebencian, dan semua itu mereka kemas dengan dalil kebebasan. Ada semacam pemahaman yang dangkal tentang bagaimana memaknai demokrasi, pada prinsipnya demokrasi adalah gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi setiap warga negara, demokrasi adalah memanusiakan manusia, demokrasi adalah mereka yang mayor merangkul yang minor, dan demokrasi adalah mereka yang kuat mejamin rasa keamanan dan ketentraman terhadap mereka yang lemah.
Demokrasi yang kebablasan tentuya akan menghasilkan konfigurasi politik yang tidak baik, demokrasi yang kebablasan akan menyebabkan buruknya realitas politik itu sendiri. kita ketahui bahwa realitas dan konfigurasi politik kebangsaan akhir-akhir ini selalu diwarnai dengan ketegangan dan selalui dibumbui dengan nada-nada kekerasan, dan kesemua itu terindikasi akibat dari dangkalnya pemahaman terhadap demokrasi. Politik adalah sikap dari demokrasi, dan politik adalah bagian dari polarasi dalam berdemokrasi, dan sudah dapat dipastikan bahwa hanya demokratisasi yang sehat akan menghasilkan politik yang sehat. Tentunya ini menjadi pekerjaan rumah kita bersama, bahwa kehidupan politik hari ini akan menentukan generasi politik yang akan datang, dalam rangka menumbuh-kembangkan kehidupan demokrasi yang memanusiakan manusia, dan dalam rangka menjadikan politik sebagai alat ukur untuk menciptakan keadilan bagi seluruh warga negara harus di benahi dengan segera agar politik selalu berbuah manis.

Jika dalam rangka membenahi kehidupan berbangsa dan bernegara diilustrasikan melalui konsep demokrasi, kemudian di dorong dengan semangat juang meciptakan kultur politik yang waras, tentunya golongan-golongan seperti kaum terpelajar (Mahasiswa) tidak boleh tinggal diam dalam menyongsong akan hal itu, ada semacam peribahasa “gayung bersambut” dan tentunya kelompok terpelajar seperti Mahasiswa ini harus menyambut wacana ini dengan suka cita, dengan syarat Mahasiswa tidak juga terlena bahkan masuk pada jebakan politik itu sendiri. Kita ketahui bersama bahwa, wilayah kaum terpelajar adalah wilayah pemikiran, wilayah kaum inteletual adalah wilayah gagasan, dan kedua agenda besar harus selalu ditelurkan oleh kalangan intelektual seperti mahasiswa dalam rangka mengisi demokratisasi dan mewarnai realitas politik kebangsaan yang berlangsung dewasa ini. Jika politik adalah buah dari pemikiran, maka kaum terpelajar atau Mahasiswa harus bisa memposisikan diri sebagai antitesis jika suasana yang dilahirkan politik tersebut tidak rasional, dan disaat yang bersamaan Mahasiswa harus bisa menyajikan konsep politik yang rasional sesuai dengan kafasitas dan kafabilitas seorang kaum terpelajar. Kaum terpelajar harus bisa menyejajarkan bahkan melampaui pengamat-pengamat politik hari ini, bagaimana kemudian kaum terpelajar dapat menerjemahkan realitas percaturan politik dewasa ini, bagaimana kemudian kaum terpelajar bisa mentransformasi pengetahuan tentang wacana politik yang berkembang, agar bagaimana kemudian kelas yang disinggung dimuka tadi, kelas yang buta terhadap kehidupan politik, kelas yang masa bodo terhadap politik kembali bergairah menghadapi gegap gempita suasan politik kebangsaan saat ini.
Tidak ada juga keterangan yang membenarkan bahwa mahasiswa atau kaum terpelajar dilarang atau terlarang masuk pada ruang-ruang politik praktis, namun rasanya terlalu dini untuk terjelembab terlalu jauh dalam kehidupan politik praktis, disinggung di atas tadi, bahwa tugas kaum terpelajar dalam suasana politik adalah menerjemah dan mencerdaskan kelompok atau kelas-kelas lain yang tidak terjamah atau tersentuh oleh rasionalitas dan kecerdasan politik. Bagaimanpun Mahasiswa adalah pilter bagi mereka yang buta dan gagap menyoal politik, terhadap doktrinasi politik yang menyesatkan, karena bagaimanapun mereka tidak dapat membendung arus dan hegemoni politik yang dikemas dengan janji dan kesenangan.

Berangkat dari keikutsertaanya dengan arus dan suasana politik yang berkebang dewasa ini tentunya kaum terpelajar seperti mahasiswa harus memiliki cara pandang tersendiri terhadap realitas dan konfigurasi politik, karena bagaimapun sesuai tugas dan fungsi yang dibebankan kepadanya adalah untuk menerjemahkan dan memberikan pemahaman menyoal politik. Kendati I’tikad baik kelompok terpelajar ingin menerjemahkan suasana politik kepada khalayak ramai tentunya kelompok ini harus juga melakukan agenda yang tersusun secara sistematis demi mengisi pengetahuannya tentang literatur politik yang berkembang, dengan membedah segala bentuk insinuasi politik dewasa ini. Kelompok terpelajar atau Mahasiswa harus mengajak duduk sama rata dan berdiri sama tinggi dengan penikmat politik agar segala bentuk problematika yang dihasilkan dari percaturan politik terurai dan berangsur terbenahi secara signifikan.

Ada pernyataan baik dari pakar maupun pengamat menyatakan bahwa politik harus diseret keruagan kelas, bahwa politik harus di tarik ke ruangan akademis, demi apa, demi mengurai segala bentuk percekcokan dagelan politik yang berkembang hari ini, hanya dengan itu kelompok terpelajar bisa memberikan sumbangsih pemikirannya terhadap khalayak, demi mengembalikan kehidupan politik kebangsaan saat ini kepada porsi utuhnya.
Rasa optimisme harus selalu ditelurkan dan ditularkan oleh kaum terpelajar hari ini, bahwa memahami politik tidak selalu dengan nominal, dengan prinsip itu kehidupan berbangsa dan bernegara kita bisa berangsur kearah yang lebih baik, ketika pemahaman kita terhadap demokratisasi sudah masuk pada prekuensi yang sama, sudah barang pasti Indonesia bermartabat dimata dunia akan menjadi satu keniscayaan. Waallah hualam bi sawwaf.

Editors Team
Daisy Floren

What's Your Reaction?

  • Like
    0
    Like
  • Dislike
    0
    Dislike
  • Funny
    0
    Funny
  • Angry
    0
    Angry
  • Sad
    0
    Sad
  • Wow
    0
    Wow