Kabarindoraya.com | Bogor- Ironisnya hasil Keputusan hakim yang menjatuhkan sanksi ringan kepada PT Bintang Prima Perkasa, perusahaan pengelola oli bekas yang terbukti melakukan dumping limbah ke lingkungan tanpa izin, menuai kritik tajam dari aktivis lingkungan dan masyarakat. Perusahaan ini hanya dijatuhi denda sebesar Rp30 juta oleh Pengadilan Negeri Cibinong pada Mei 2024 lalu, jauh dari ancaman pidana yang diatur dalam Pasal 104 UU No. 32 Tahun 2009.

‎

‎Dalam pasal tersebut disebutkan, pelaku pembuangan limbah ilegal dapat dikenakan hukuman maksimal 3 tahun penjara dan/atau denda hingga Rp3 miliar. Vonis ringan ini dinilai tidak mencerminkan keadilan serta mengabaikan urgensi perlindungan lingkungan hidup.

‎

‎Perusahaan yang berlokasi di Gang Asem, Kampung Gunung Putri, Kecamatan Gunung Putri, Kabupaten Bogor, terbukti membuang limbah ke Daerah Aliran Sungai (DAS) Cileungsi tanpa izin lingkungan. Namun sanksi yang diberikan justru dianggap melemahkan efek jera terhadap pelaku kejahatan lingkungan.

‎

‎Saat dikonfirmasi terkait vonis ringan tersebut, Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor, Dede Alamsyah, menyatakan bahwa DLH tidak memiliki kewenangan atas putusan pengadilan.

‎

‎"Soal vonis itu bukan kewenangan DLH, jadi silakan pertanyakan ke pihak JPU," ujar Dede.

‎

‎Namun pernyataan tersebut dinilai sebagai bentuk lepas tangan oleh sejumlah aktivis. Johner Simanjuntak, seorang pemerhati kebijakan publik di Kabupaten Bogor, menyayangkan sikap DLH yang terkesan tidak peduli terhadap putusan tersebut.

‎

‎“Vonis ini jadi preseden buruk. DLH terkesan hanya menjalankan syarat, dan tak menunjukkan kepedulian sedikit pun. Bagaimana bisa ada efek jera kalau pelaku hanya didenda Rp30 juta, padahal ancamannya penjara dan denda miliaran?” tegas Johner.

‎

‎Johner juga menuding ada permainan oknum mafia peradilan, mengingat tidak adanya upaya banding dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) meski tuntutan awal sangat berat. Ia juga mengkritisi pernyataan DLH yang menyebut penyidik berasal dari KLHK, padahal dalam surat dakwaan disebutkan bahwa penyidik berasal dari PPLH Provinsi dan Kabupaten Bogor, yakni PPNS Provinsi Jawa Barat.

‎

‎“Ini bentuk penyesatan publik. DLH tidak hanya abai, tapi juga gagal mengkomunikasikan fakta. Bupati Bogor harus segera mengevaluasi kinerja DLH agar kejadian serupa tidak terulang,” tambahnya.

‎

‎Kejadian ini kembali menyoroti lemahnya penegakan hukum lingkungan di Indonesia, serta terbukanya celah penyalahgunaan wewenang yang merugikan lingkungan dan masyarakat.