Kabarindoraya.com  | Bogor  -  Puluhan pedagang kaki lima (PKL) tampak menggelar dagangan di trotoar kawasan Alun-Alun Jonggol, Kabupaten Bogor, Kamis (30/10/2025). Praktik ini tak hanya mengganggu ketertiban umum, tetapi juga merampas hak pejalan kaki serta mengotori area publik yang seharusnya menjadi ruang hijau dan fasilitas umum masyarakat.

‎‎Kondisi tersebut memunculkan keprihatinan berbagai pihak, termasuk kalangan pemerhati hukum dan aktivis sosial. Salah satunya Ketua LSM KCBI, A.M. Sandi Bonardo, yang menilai aktivitas para pedagang di trotoar tersebut jelas melanggar peraturan perundang-undangan.

‎“Kegiatan berjualan di trotoar tidak termasuk dalam kategori penyelenggaraan kegiatan di luar fungsi jalan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ),” tegas Sandi.

‎‎Menurutnya, Pasal 127 dan 128 UU LLAJ mengatur bahwa kegiatan di luar fungsi jalan hanya mencakup kegiatan keagamaan, kenegaraan, olahraga, dan budaya. Sementara berjualan tidak termasuk di dalamnya.

‎‎Lebih lanjut, Sandi menjelaskan bahwa UU LLAJ juga secara tegas melarang tindakan yang mengganggu fungsi jalan dan trotoar.

‎‎Pasal 28 ayat (1) menyatakan: “Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerusakan dan/atau gangguan fungsi jalan.”

‎Pasal 274 ayat (1) mengancam pelanggar dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda hingga Rp24 juta.

‎‎Pasal 28 ayat (2) jo. Pasal 25 ayat (1) juga melarang penggunaan trotoar untuk kegiatan yang mengganggu fungsi pejalan kaki.

‎Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dijerat pidana kurungan paling lama satu bulan atau denda Rp250 ribu sebagaimana diatur dalam Pasal 275 ayat (1).

‎Selain UU LLAJ, lanjut Sandi, UU Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan juga mengatur sanksi pidana bagi siapa pun yang dengan sengaja mengganggu fungsi jalan.

‎‎Pasal 63 ayat (1): penjara paling lama 18 bulan atau denda Rp1,5 miliar bagi yang melakukan kegiatan yang mengganggu fungsi jalan di ruang manfaat jalan.

‎‎Pasal 63 ayat (2) dan (3) bahkan menegaskan hukuman bagi pelanggaran di ruang milik jalan dan ruang pengawasan jalan.

‎‎“Artinya, praktik berjualan di trotoar bukan hanya melanggar ketertiban umum, tetapi juga bisa masuk ranah pidana. Pemerintah daerah harus bertindak tegas sebelum kebiasaan ini menjadi pembiaran yang merusak wajah kota,” ujar Sandi menegaskan.

‎‎Selain menghambat pejalan kaki dan pengguna jalan, aktivitas liar para pedagang juga menyebabkan tumpukan sampah dan kemacetan di sekitar alun-alun. Kondisi ini mengganggu kenyamanan warga yang ingin berolahraga, berwisata, atau sekadar bersantai di area publik tersebut.

‎Sandi menilai, pembiaran aparat terhadap pelanggaran di ruang publik dapat menimbulkan preseden buruk bagi penegakan hukum dan tata kelola kota.

‎‎“Trotoar adalah hak pejalan kaki, bukan tempat berjualan. Kalau aturan terus diabaikan, lama-lama hukum hanya jadi hiasan teks di atas kertas,” pungkasnya dengan nada tajam.