Kabarindoraya.com | Depok – Di tengah kemarahan publik atas privilese DPR RI di Senayan yang mendapat tunjangan rumah hingga Rp50 juta per bulan, gelombang kekecewaan kini menjalar ke Kota Depok. Fakta tak kalah mencengangkan terungkap: anggota DPRD Depok menikmati tunjangan rumah puluhan juta rupiah setiap bulan, namun ada oknum yang justru diduga merampas hak mahasiswa miskin penerima beasiswa.

Nama berinisial HG, anggota DPRD Kota Depok, mencuat setelah disebut-sebut oleh mahasiswa dan media lokal sebagai pihak yang menawarkan tambahan kuota Kartu Indonesia Pintar (KIP) dengan syarat tertentu. Namun, syarat tersebut diduga sarat praktik curang: mahasiswa penerima beasiswa diminta menyetor sebagian dana KIP. Informasi yang beredar menyebutkan, setoran itu bahkan harus dilakukan secara tunai sejak semester pertama.

Praktik ini berdampak serius. LLDikti IV menghentikan kuota KIP untuk JGU, sehingga mahasiswa baru tahun berikutnya kehilangan kesempatan mendaftar lewat jalur beasiswa. Puluhan mahasiswa terancam putus kuliah di tengah jalan, sementara harapan mereka untuk melanjutkan pendidikan hancur karena ulah segelintir oknum.

“Ini bukan sekadar penyimpangan administratif, tapi perampasan hak pendidikan. Masa depan mahasiswa miskin digadaikan demi kepentingan pribadi,” tegas Farizan, Wakil Direktur Lembaga Pengawas Kebijakan Publik dan Keadilan (LP-KPK).

Kuasa hukum mahasiswa, Deolipa Yumara, telah melaporkan dugaan penyimpangan ini ke Kejaksaan Negeri Depok. Namun hingga kini, proses hukum dinilai jalan di tempat. Publik pun bertanya: apakah hukum hanya tajam ke bawah, tapi tumpul saat menyentuh wakil rakyat?

Farizan menambahkan, “Kami mendesak Kejari Depok untuk tidak ragu menindaklanjuti laporan ini. Jika dibiarkan, publik akan semakin kehilangan kepercayaan terhadap penegakan hukum.”

Melalui pernyataannya, LP-KPK menegaskan tiga tuntutan utama. Pertama, proses hukum tanpa pandang bulu terhadap oknum DPRD Depok berinisial HG yang diduga terlibat dalam praktik pemotongan beasiswa mahasiswa. Kedua, klarifikasi resmi dari DPRD Kota Depok agar publik mengetahui sejauh mana keterlibatan HG dan menghindari upaya “cuci tangan” institusional. Ketiga, pemulihan hak beasiswa mahasiswa JGU dengan mendesak LLDikti IV maupun Kementerian Pendidikan untuk membuka kembali kuota KIP yang sempat dihentikan akibat kasus ini.

“Jika tuntutan ini tidak segera ditindaklanjuti, LP-KPK bersama mahasiswa dan masyarakat akan turun langsung melakukan aksi di depan DPRD Depok dan Kejaksaan Negeri Depok,” tegas Farizan.

Kemarahan publik kian memuncak karena ironi yang terlihat telanjang: anggota DPRD Depok sudah bergelimang fasilitas negara dengan tunjangan rumah sebesar Rp47 juta untuk ketua, Rp43 juta untuk wakil, dan Rp32 juta untuk anggota. Namun di saat bersamaan, mahasiswa miskin malah harus merelakan beasiswa mereka “dipotong” oleh oknum legislatif.

“Sudah dapat tunjangan rumah puluhan juta, masih tega merampas beasiswa mahasiswa miskin. Ini penghinaan terhadap dunia pendidikan,” ujar salah satu aktivis Depok.

Kasus ini menjadi cermin buram wajah demokrasi lokal: wakil rakyat yang seharusnya memperjuangkan aspirasi justru diduga memperdagangkan pendidikan. Sementara hukum tampak gamang menindak, publik menunggu bukti bahwa keadilan tidak bisa dibeli.

Jika aparat penegak hukum terus berdiam diri, maka rakyatlah yang akan turun tangan. Depok tidak boleh membiarkan pendidikan dijadikan bancakan politik. Mahasiswa harus dilindungi, bukan dijadikan korban kerakusan elit.(Redaksi SA)