Kabarindoraya.com | Surakarta -Diskursus mengenai penyelenggaraan bantuan hukum bagi masyarakat tidak mampu kembali memperoleh perhatian publik setelah lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 150/PUU-XXII/2024, yang membuka peluang bagi dosen Pegawai Negeri Sipil (PNS) untuk menjalankan praktik advokat secara cuma-cuma (pro bono). Putusan tersebut dipandang sebagai terobosan strategis karena berpotensi memperkuat pemenuhan hak konstitusional atas akses keadilan (access to justice) khususnya bagi kelompok rentan. Meskipun demikian, di tengah dinamika tersebut, masih ditemukan kesalahpahaman publik dalam membedakan konsep pro bono dan pro deo, dua istilah bantuan hukum yang sering dianggap identik, padahal memiliki landasan hukum, mekanisme pelaksanaan, dan implikasi sosial yang berbeda. Pada konteks inilah pandangan akademik Gus Mustain Nasoha, pakar hukum dari UIN Raden Mas Said Surakarta, menjadi relevan dan otoritatif untuk dijadikan acuan.
Menurut penjelasan Gus Mustain, pro bono yang berasal dari frasa pro bono publico merupakan pemberian layanan hukum secara cuma-cuma oleh advokat tanpa menerima imbalan dalam bentuk apa pun. Pro bono tidak mengurangi kedudukan profesional advokat; seluruh tindakan hukum, baik konsultasi, penyusunan dokumen, pendampingan, pembelaan di persidangan, maupun tindakan litigasi dan non-litigasi lainnya, tetap dilakukan secara penuh berdasarkan standar profesional dan kode etik advokat. Satu-satunya pembeda terletak pada absennya hubungan transaksional dan finansial antara advokat dan klien. Pro bono diberikan kepada pihak yang tidak mampu secara ekonomi maupun kelompok yang mengalami kerentanan sosial-politik, sehingga skema ini menempatkan advokat sebagai pelaksana etika profesi yang berpihak pada keadilan substantif.
Adapun pro deo merupakan mekanisme pembebasan biaya perkara di pengadilan. Dalam skema ini, negara—melalui Mahkamah Agung—menanggung biaya administrasi perkara agar masyarakat miskin tetap dapat menjalankan hak berperkara. Pemohon pro deo wajib membuktikan keadaan tidak mampu secara administratif melalui dokumen resmi, seperti Surat Keterangan Tidak Mampu dan dokumen pendataan sosial. Dengan demikian, pro bono berfokus pada sikap sukarela advokat dalam memberikan jasa hukum, sementara pro deo menitikberatkan pada intervensi negara dalam membebaskan biaya perkara sebagai bagian dari kewajiban konstitusional negara untuk menjamin hak setiap warga negara atas akses peradilan.
Gus Mustain menekankan bahwa distingsi konseptual ini bukan sekadar persoalan terminologi, tetapi berkaitan langsung dengan kesadaran hukum masyarakat. Kekeliruan memahami konsep dapat berimplikasi pada hilangnya kesempatan memperoleh pendampingan hukum. Karena itulah ia menyebut pro bono sebagai “puncak etika profesi advokat”, sebuah gagasan yang sejalan dengan adagium fiat justitia ruat caelum—keadilan harus ditegakkan sekalipun langit runtuh. Dalam perspektifnya, advokat mencapai derajat kehormatan tertinggi bukan ketika menerima remunerasi tinggi, melainkan ketika hadir tanpa pamrih untuk melindungi warga yang tidak mampu memperjuangkan haknya sendiri.
Putusan MK yang mengizinkan dosen PNS berpraktik sebagai advokat pro bono memperluas konteks konseptual tersebut ke ranah akademik. Selama ini, profesi advokat dipandang berseberangan dengan status PNS karena advokat menuntut kemandirian absolut (absolute independence), sedangkan PNS tunduk pada struktur birokrasi yang hierarkis. Rekonstruksi paradigma tersebut terjadi ketika Mahkamah menyatakan bahwa advokasi cuma-cuma oleh dosen tidak menimbulkan konflik kepentingan sebab tidak melibatkan transaksi ekonomi, sehingga tidak mengancam independensi profesi advokat. Praktik advokasi oleh dosen justru dipahami sebagai implementasi pilar ketiga Tri Dharma Perguruan Tinggi, yakni pengabdian kepada masyarakat.
Fenomena tersebut oleh Gus Mustain disebut sebagai “revitalisasi fungsi sosial ilmu hukum”. Ilmu hukum, menurutnya, tidak boleh berhenti pada level doktrinal dan normatif. Teori hukum menemukan relevansinya ketika diuji melalui fakta sosial dan proses peradilan. Ketika dosen menjadi kuasa hukum bagi warga yang sedang berperkara, mahasiswa hukum dapat menyaksikan secara langsung bagaimana norma diuji dalam dinamika persidangan, bagaimana argumentasi hukum disusun, bagaimana alat bukti dan saksi diperdebatkan, serta bagaimana putusan mampu menentukan nasib seseorang. Pada saat itulah hukum tampil sebagai living law, hukum yang hidup di tengah masyarakat, bukan sekadar teks normatif.

.png)