Kabarindoraya.com  |  Jakarta  – Kontroversi yang menyelimuti Peraturan Kepolisian (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 tentang Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang Melaksanakan Tugas di Luar Struktur Organisasi dinilai sebagai refleksi ketegangan antara idealisme reformasi dan pragmatisme kebutuhan tata kelola negara.

Egi Hendrawan, pengamat Hukum dan Politik sekaligus Koordinator Sahabat Presisi, menegaskan bahwa secara hukum, Perpol tersebut tidak dapat serta-merta divonis bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/PUU-XXIII/2025. Sebaliknya, Perpol ini justru merupakan instrumen hukum yang diperlukan untuk menjaga legal certainty (kepastian hukum).

Putusan MK: Kewajiban Menciptakan Pagar Hukum

Egi menjelaskan bahwa esensi Putusan MK adalah menghilangkan frasa dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Polri yang dinilai mengaburkan norma dan membuka ruang penugasan polisi aktif di jabatan sipil murni tanpa kejelasan hukum.

“MK menciptakan kekosongan norma di tingkat undang-undang yang harus diisi. Jika Kapolri tidak mengeluarkan Perpol, maka penugasan yang bersifat esensial seperti di BNN atau KPK akan berjalan tanpa legal framework yang jelas pasca-putusan. Perpol 10/2025 adalah langkah administrative necessity yang sah,” ujar Egi.

Menurutnya, Perpol ini berfungsi sebagai regulasi transisi yang mendefinisikan secara limitatif 17 lembaga yang penugasannya memiliki sangkut paut fungsional (functional nexus) dengan tugas kepolisian, yang notabene tidak dilarang oleh Putusan MK.