Kabarindoraya.com  |  Kabar bencana banjir bandang kini datang lagi di arah barat Indonesia, dari pulau Sumatera. Bencana itu melanda Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh dengan puluhan kabupaten di dalamnya.

Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) terdapat 631 korban meninggal dan 472 orang lainnya masih dinyatakan hilang berdasarkan catatan per tanggal 2 Desember.

Selain korban meninggal dan hilang, masih banyak angka lain yang meremukkan hati. Ada rumah yang hancur, UMKM yang terhenti, pekerjaan yang lenyap, warga yang kelaparan, anak-anak yang kehilangan orang tua, pasangan yang terpisah oleh maut, hingga bayi yang membutuhkan perawatan. Namun semua itu bukan sekadar statistik. Di balik setiap angka, ada duka, cita, dan nyawa yang ikut tersapu banjir bandang.

Tragedi itu, oleh para pewarta dan pejabat begitu serampangan menyebutnya fenomena "bencana alam". Suatu kata yang menyesatkan dan perlu dicurigai, sebab kata itu seakan menuduh alam bersalah dan seakan alam begitu jahat pada manusia.

Paul Rucoeur, setidaknya menekankan pada kita untuk perlu kurang percaya terhadap suatu teks, dalam hemeneutic of suspicionnya. Suatu konsep hermeneutika kecurigaan bahwa teks mesti dipandang perlu tinjau kritis. Dengan itu, kita mesti mencurigai apa yang disebut sebagai "bencana alam". Apakah ia kata yang netral atau ada yang ingin dihilangkan dari akar bencana sesungguhnya.

Bencana Sumatera Karena Alam atau Ulah Kuasa Manusia?