Oleh: Junaidi Rusli (Wartawan dan Pemerhati Kebijakan Publik)
Dalam sistem hukum Indonesia, gratifikasi kerap dipahami sebagai salah satu bentuk tindak pidana korupsi yang paling sulit dibedakan dari hadiah atau pemberian biasa. Namun yang menarik untuk dicermati adalah adanya perbedaan perlakuan terhadap pelaku gratifikasi, terutama jika dibandingkan antara jaksa dan pejabat publik lainnya.Baru-baru ini kasus yang paling mendapat sorotan publik adalah 2 eks Kajari Jakbar yang terbukti dalam persidangan hanya diberikan sangsi dipindahkan kebagian Tata Usaha (Tata Usaha) karena menerima gratifikasi sebesar Rp.500.000.000,- jumlah yang sangat besar dan sulit didapat jika dibandingkan dengan pendapatan masyarakat kecil pada umumnya,tentu hal itu menjadi pertanyaan besar mengingat Kejaksaan sedang disorot terkait kinerjanya menyelamatkan ratusan triliun uang negara yang ditilep para pengusaha nakal yang bergerak di usaha tambang,perkebunan sawit dan perdagangan.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), setiap gratifikasi yang diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap suap, jika berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Ancaman pidananya tidak main-main — paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, dengan denda hingga Rp1 miliar.
Namun, berbeda halnya dengan penerapan hukum terhadap aparat penegak hukum, terutama jaksa. Dalam sejumlah kasus, ketika seorang jaksa terbukti menerima gratifikasi, penegakan hukumnya sering kali diperlakukan lebih “lunak” dibandingkan jika pelakunya berasal dari instansi lain seperti ASN biasa, kepala dinas, atau kepala daerah.Contohnya adalah kasus yang masih bergulir dipengadilan yang melibatkan 2 eks Kajari Jakbar yang terbukti menerima gratifikasi sebesar Rp.500 Juta hanya diberikan sanksi dipindahkan kebagian Tata Usaha (TU) padahal jelas unsur pidananya, jumlah yang sangat besar dan sulit dicapai jika dibandingkan dengan pendapatan masyarakat kecil pada umumnya dan tentu hal itu menjadi pertanyaan besar mengingat kejaksaan sedang disorot terkait kinerjanya yang dianggap berhasil menyelamatkan uang negara ratusan triliun yang ditilep para pengusaha nakal yang bergerak di usaha tambang ,perkebunan sawit dan perdagangan .Bahkan Presiden Prabowo sendiri menginstruksikan jajaran TNI untuk mengawal para jaksa diseluruh daerah ,namun adanya perlakuan khusus oleh instansinya terkait jaksa penerima gratifikasi sungguh sudah melukai hati masyarakat .
Padahal, secara normatif, jaksa adalah penegak hukum yang seharusnya menjadi teladan integritas, bukan justru penerima gratifikasi. Bahkan, Kode Etik Jaksa dan Peraturan Jaksa Agung Nomor PER-014/A/JA/11/2012 tentang Pedoman Perilaku Jaksa dan PERJA Nomor 4 Tahun 2024 ,sudah secara tegas melarang penerimaan gratifikasi dalam bentuk apa pun.
Fenomena “Double Standard” dalam Penegakan Hukum
Dalam praktik, perbedaan perlakuan ini mencerminkan adanya standar ganda dalam penegakan hukum. Ketika pelaku berasal dari kalangan jaksa, proses hukumnya sering berakhir dengan sanksi etik atau disiplin internal, bukan pidana penjara yang berat. Tetapi jika pelaku berasal dari birokrasi sipil atau sektor publik lain, penegakan hukum berjalan lebih keras, bahkan dengan publikasi besar-besaran di media.
Contohnya, dalam sejumlah kasus ASN daerah yang menerima gratifikasi bernilai kecil, mereka bisa langsung ditetapkan sebagai tersangka korupsi, dihukum bertahun-tahun, dan dipecat tidak hormat. Sementara di sisi lain, beberapa jaksa yang terbukti menerima pemberian jauh lebih besar justru hanya dijatuhi hukuman etik atau penundaan promosi.
Ketimpangan ini menimbulkan pertanyaan mendasar: Apakah hukum benar-benar “sama di hadapan semua orang”, ataukah masih berlaku asas “siapa yang menegakkan, dia yang dikecualikan”?
Dampak Terhadap Kepercayaan Publik
Keadilan tidak hanya harus ditegakkan, tetapi juga harus tampak ditegakkan. Ketika masyarakat melihat adanya ketimpangan sanksi antara penerima gratifikasi di kalangan jaksa dan non-jaksa, kepercayaan terhadap sistem hukum otomatis terkikis. Publik bisa kehilangan keyakinan bahwa hukum adalah alat moral negara, bukan sekadar tameng bagi aparatnya.
Dalam konteks pemberantasan korupsi, transparansi dan konsistensi sanksi menjadi fondasi utama. Jika aparat penegak hukum yang seharusnya menjadi ujung tombak justru dilindungi oleh sistemnya sendiri, maka pemberantasan korupsi akan berubah menjadi simbol tanpa makna.
Menegakkan Integritas Tanpa Tawar
Penerapan hukum yang berbeda untuk kasus gratifikasi justru merusak sendi keadilan. Ke depan, Komisi Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perlu memastikan bahwa penanganan kasus gratifikasi terhadap aparat penegak hukum tidak boleh berhenti di level etik atau administratif semata.
Publik berhak menuntut agar setiap jaksa yang menerima gratifikasi diproses pidana, sebagaimana warga negara lainnya. Dengan begitu, hukum bukan hanya alat kekuasaan, tetapi kembali menjadi alat keadilan.